Minggu, 21 Juni 2015

JATI DIRI ORANG MUDA KATOLIK



Martinus Jimung
 
Paus Benediktus XVI, dalam pesan pastoralnya menyongsong Hari Orang Muda sedunia ke XXIII di Sydney, tanggal 14-20 Juli 2008, mengatakan: ‘Banyak orang muda memandang hidup dengan gelisah dan mengajukan banyak pertanyaan mengenai masa depan mereka’. Dengan cemas mereka bertanya: Bagaimana orang muda bisa hidup dalam dunia yang ditandai dengan begitu banyak ketidakadilan yang parah dan begitu banyak penderitaan ini? Bagaimana seharusnya orang muda bersikap atas egoisme dan kekerasan yang kadang-kadang tampak lebih kuat? Bagaimana orang muda memberi makna jati diri sepenuhnya dalam hidup ini? Bagaimana orang muda bisa menolong diri dan dunianya melalui tindakan ‘kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kedewasaan, dan pengendalian diri’ sehingga dapat mengisi dunia yang cemas dan rapuh ini, dunia yang sebagian besar darinya adalah orang muda itu sendiri?
Melalui pernyataan kegelisaan dan harapan di atas, tampaklah bahwa orang muda selalu menarik untuk dibicarakan dengan segala suka dan dukanya, dengan jati diri dan dinamikanya yang khas. Orang muda diharapkan mampu mengenal jati dirinya dan mampu pula mengimplementasikan jati dirinya dalam dunia nyata bersama dengan kekhasan dan predikatnya sebagai ‘pelaku perubahan dan pembaruan’ dalam masyarakat dan bangsa. Hal itu bisa terjadi bila orang muda mampu mengenal jati dirinya. Sebaliknya, ia akan mengalami kesulitan dalam mengaktualisasi jati dirinya.  

Jati Diri Orang Muda
            Orang muda senantiasa berusaha menemukan jati diri dan aktualisasi dirinya sendiri. Mereka juga lemah dan mudah terpengaruh oleh lingkungan hidupnya. Mereka selalu memilih yang menyenangkan dan memberikan kebahagiaan bagi dirinya. Dalam pencarian identitas diri ini, orang  muda dapat menampakkan aneka sifat yang indah dan mempesona, sekaligus kemampuan yang mengagumkan.  
Pencarian identitas ini tidak lepas dari kesadaran akan kelemahan dan kelebihannya, kesukaan dan ketidaksukaannya, keinginan dan tujuan masa depannya, serta perasaan untuk mengatur hidupnya sendiri. Itulah sebabnya orang muda rindu untuk diakui, dihargai, diterima, dilibatkan, dan dicintai jati dirinya. Maka tidak jarang kalau karakter dasar orang muda sering terungkap dalam perilaku yang kurang sabar, cenderung kasar, terlalu cepat ingin menyelesaikan masalah, kurang percaya pada pengalaman orang yang lebih tua, terlalu cepat membuat generalisasi. Mereka cepat bereaksi dan cenderung emosional. Hal itu bisa terjadi karena orang muda cenderung berorientasi ke masa depan, mempunyai keinginan besar untuk maju, dan tidak suka dibandingkan dengan zaman lampau, yang merupakan dunia generasi tua. Orientasi ke depan merupakan sesuatu yang sangat positif jika didasarkan pada pijakan yang benar dan kuat, agar mereka tidak terjerumus pada hal-hal yang dapat menghentikan langkah ke depan yang dapat merusak jati dirinya.
Bagi orang muda yang dapat melalui krisis identitas yang dialaminya dengan baik, maka mereka akan memiliki rasa aman dan nyaman terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya berkembang dalam relasi dengan orang lain, namun mereka pun mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam pergaulan. Orang muda seperti itulah yang disebut memiliki jati diri yang berkualitas, benar, kuat dan bertanggung jawab.
Sebaliknya, orang muda yang gagal melalui krisis identitasnya akan menarik dan menutup diri. Mereka tidak berhasil memberikan kasih dan hidupnya untuk bersatu dengan orang lain. Ia cenderung memiliki kepribadian yang impulsif, selalu bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Keadaan ini membuat mereka lemah dan tidak mampu berdiri sendiri, kepribadian yang tidak matang, dan dapat menimbulkan keputusasaan serta ketidakmampuan untuk menghadapi penderitaan sehingga pada gilirannya mereka mengalami kesulitan dan kerapuhan untuk bertindak dan bersikap dalam hidup sehari-hari. Hal yang demikian dapat juga dialami oleh orang muda katolik.

Orang Muda Katolik
Orang muda katolik juga tidak dapat terlepas dengan situasi tersebut. Oleh karena itu mereka seharusnya berani untuk mengakui identitasnya di hadapan Tuhan dan sesamanya. Ia dapat bertanya pada diri sendiri: ‘Siapakah saya dihadapan Tuhan, sesama dan diriku sendiri? Karena itu tidak cukup hanya mengatakan bahwa kami orang muda katolik, kalau tanpa ada perwujudan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam sikap dan perbuatan nyata di rumah, sekolah, universitas, keluarga, masyarakat, gereja dan kantor.  
            Pertanyaan yang menelusuri kehidupan orang muda katolik adalah: ‘kemana arah orang muda katolik masa kini? Pertanyaan ini berangkat dari kenyataan bahwa orang muda katolik masa kini telah dijangkiti oleh ‘virus’ arus globalisasi. Kehadiran globalisasi tidak hanya melahirkan krisis dalam hidup orang muda katolik terutama dalam pencarian identitas iman mereka, tetapi juga bahwa orang muda katolik sebagai harapan masa depan Gereja dan masyarakat berada dalam disposisi yang tidak menentu. Artinya, di satu pihak kehadiran globalisasi menguntungkan orang muda katolik terutama dalam mewujudkan segala harapan dan cita-cita mereka sekaligus dapat memperluas relasi mereka dengan orang lain, tetapi di lain pihak ‘globalisasi’ membuat orang muda katolik berada dalam kesulitan untuk mencari makna jati diri mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu orang muda katolik menghadapi sekian banyak persoalan dalam hidup mereka, tak terkecuali mereka mengalami krisis iman akibat perkembangan globalisasi.
Untuk itu kita perlu mengerti, memahami pengalaman hidup rohani mereka dan membantu mereka untuk menjadi saksi Kristus dalam hidup sehari-hari, berani berbicara mengenai Kristus dalam keluarga dan lingkungan belajar, bekerja dan bermain. Maka proses pendampingan terhadap orang muda katolik merupakan kebutuhan mendesak agar mereka bisa diandalkan, dan menjadi garam dalam masyarakat yang menyelamatkan, menyembuhkan dan memulihkan, serta memberikan kekuatan dan motivasi baru untuk hidup dan karyanya.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar